PEMBANGUNAN
MASYARAKAT
1.
Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan
menurut Suhendra (2006:74-75) adalah “suatu kegiatan yang berkesinambungan,
dinamis, secara sinergis mendorong keterlibatan semua potensi yang ada secara
evolutif dengan keterlibatan semua potensi”.
Selanjutnya pemberdayaan menurut Ife (dalam Suhendra, 2006:77) adalah “meningkatkan kekuasaan atas mereka yang kurang beruntung (empowerment aims to increase the power of disadvantage)”.
Selanjutnya pemberdayaan menurut Ife (dalam Suhendra, 2006:77) adalah “meningkatkan kekuasaan atas mereka yang kurang beruntung (empowerment aims to increase the power of disadvantage)”.
Menurut
Mubarak (2010) pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya
untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu
berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan
hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat.
Pemberdayaan ini
memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan
keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur
kekuasaan. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan
tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat, termasuk individu-individu yang
mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan,
maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat
yang berdaya, memiliki kekuasaan atau
mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat
fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata
pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan
mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Sipahelut, 2010).
2.
Membentuk Komunitas yang baik
Komunitas yang baik tidak berdiri begitu
saja. Ada beberapa hal yang dapat mencirikan suatu komunitas yang baik, yaitu
sebagai berikut :
2.1 Berinteraksi satu dengan yang lain (primary
group)
Kelompok
sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup
bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain
menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu
kesadaran untuk saling menolong (SoejonoSoekanto, 2006:104).
Menurut (Zamhariri, 2008), proses interaksi sosial
dalam kehidupan masyarakat dan keluarga, secara sosiologis memiliki dua syarat
utama, yaitu:
- Adanya Kontak Sosial: kontak sosial adalah sebuah aksi individu/kelompok dalam bentuk isyarat yang memiliki makna bagi si pelaku, dan si penerima membalas aksi tersebut dengan reaksi
- Adanya Komunikasi: komunikasi itu merupakan aksi antara dua pihak/lebih yang melakukan hubungan dalam bentuk saling memberikan tafsir atas pesan yang disampaikan oleh masing-masing fihak.
Suatu
interaksi sendiri tidak akan terbentuk tanpa adanya kontak sosial dan
komunikasi yang terjalin. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja
sama,persaingan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian
(Soekanto,2006)
Menurut
Indah (2013), dalam berinteraksi seseorang individu atau kelompok sosial sedang
berusaha atau belajar untuk memahami tindakan sosial seorang individu ataupun
kelompok sosial lain. Interaksi sosial akan berjalan dengan tertib dan teratur
bila individu dalam masyarakat dapat bertindak sesuai dengan konteks sosialnya,
yakni tindakan yang disesuaikan dengan situasi sosial saat itu, tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, serta individu bertindak sesuai
dengan kedudukannya dalam masyarakat. Terdapat tiga jenis interaksi sosial,
yakni interaksi antara individu dengan individu, antara kelompok dengan
kelompokdan antara individu dangan kelompok (Leis, 2013).
2.2
KOMUNITAS MEMILIKI OTONOMI
Kesalahan dan kegagalan
di daerah akan menjadi masalah lokal yang harus diselesaikan secara lokal pula
(Nasdian, 2006).
Usman (2014) menyatakan
kebijakan otonomi daerah tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa bahkan
dapat memperkuat integrasi bangsa, dengan alasan : (1) Rakyat dan institusi
perwakilan rakyat di daerah merasa dipercaya oleh pemerintah, dan karena itu
merasa bangga sebagai bagian dari pemerintah nasional. (2) Kepala Pemerintahan
dan jajaran eksekutif di daerah memikul kewajiban untuk memberi pengabdian
mereka yang terbaik kepada rakyat di wilayahnya, karenakeberhasilan atau
kegagalan mereka tidak akan lepas dari penilaian rakyat setempat. (3)
Berdasarkan pada point 1 dan 2, akan semakin sulit bagi kelompok separatis atau
anti nasional di daerah untuk melakukan manuver dengan alasan ketidak-puasan
terhadap kebijakan pemerintah pusat, seperti yang selama ini terjadi.
Menurut (Hendra, 2014),
kewenangan otonomi diberikan kepada daerah ialah untuk memelihara dan
mengembangkan identitas budaya lokal. Tanpa otonomi yang luas, daerah-daerah
akan kehilangan identitas budaya lokal baik berupa adat istiadat maupun agama,
seperti di Bali, Sumatera Barat, Riau, Aceh, Maluku, Papua dan Sumatera Utara.
Dengan adanya
pengaturan secara khusus, pelaksanaan pemerintahan tidak menghilangkan sistem
hukum nasional. Bagaimanapun, derajat hubungan pusat dan daerah dapat dijadikan
sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meski demikian,
tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau
sebaliknya sangat bersifat federalis. Heinz Laufer dan Munch Ursula
mengemukakan, elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat
monosentris, melainkan polisentris bergerak dari suatu kontinum ke kontinum
lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis atau sebaliknya (dalam Prasojo,
2006: 5).
2.3
KOMUNITAS MEMILIKI VIABILITAS
Memberdayakan
masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki
kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan
permasalahan dan memenuhi kebutuhannya. Salah satu tujuan pemberdayaan
masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri
adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu
ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya (Cooperrider dan Whitney,
2006).
Di dalam masyarakat
yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak
merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat
perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang
perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi (Siti, 2006).
Memberdayakan
masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendikusikan masalahnya serta
merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan. Masyarakat perlu
diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan
masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya. Tujuan
utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat.
(Setiadi dan Kolip, 2010).
Penyelesaian atau pemecahan
masalah adalah bagian dari proses berpikir. Sering dianggap merupakan
proses paling kompleks di antara semua fungsi kecerdasan, pemecahan
masalah telah didefinisikan sebagai proses kognitif tingkat tinggi
yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari keterampilan-keterampilan rutin
atau dasar (Andri, 2010).
2.4
DISTRIBUSI KEMAMPUAN YANG MERATA
Suatu komunitas, dalam
anggotanya harus memiliki kemampuan atau kebebasan dalam berkehendak. Bebas
menentukan kehendak adalah kekuatan seseorang untuk memilih atau tidak memilih
kebaikan yang terbatas atau yang tidak terbatas (Ariestita, 2006).
Partisipsi masyarakat meningkatkan keberlanjutan
ketika masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, masyarakat merasa
memiliki dan termotovasi untuk mempertahankannya, namun memakan waktu
sumberdaya logistik dan organisasinya merepotkan (Widodo, 2014).
Nasdian
(2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh
warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah
memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai
subjek yang sadar.
Nasdian
(2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas
harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam
masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan
masyarakat.
2.5
KESEMPATAN SETIAP ANGGOTA
Tingkat partisipasi
menurut Dahlsrud (2008) terdiri dari empat kategori, yakni tingkat pengambilan
keputusan (perencanaan), tingkat pelaksanaan, tingkat evaluasi, dan tingkat
pemanfaatan hasil. Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh
warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan
menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif.
Rahman (2009) juga
memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus
menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam
masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan
masyarakat.
Menurut Suhirman dan
Todaro (2006), pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan
partisipasi. Mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil
oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri,
dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka
dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah
memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai
subjek yang sadar.
Partisipasi masyarakat
menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution
of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan.
Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat
wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusan (Isma dan Fredian, 2011).
2.6 KOMUNITAS YANG MEMBERI MAKNA
Menurut Oakley (2007)
komunikasi merupakan suatu proses ketika seseorang atau suatu kelompok
masyarakat menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungannya. Pembagian
kerja, perasaan asosiasi, kebersamaan, dan kerja sama – semua ini membantu
dalam membangun suasana yang sehat yang penuh dengan persatuan, keselarasan dan
persahabatan.
Komunitas adalah sebuah
proses alamiah dimana orang-orang yang hidup bersama untuk memaksimalkan
kepentingan mereka, merasa bahwa kepentingan diri sendiri dapat ditemukan
dalam kelompok. Komunikasi bagi seorang anggota dalam suatu komunitas sangat penting
untuk dilakukan, komunikasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media
seperti media sosial guna memudahkan proses pendekatan antar sesama anggota
(Raharjo Adisasmita, 2006).
Dalam komunitas orang
hidup dengan berasosiasi dengan satu sama lain. Perasaan asosiasi adalah
perasaan manusia yang umum. Hal ini membantu dalam membangun perdamaian dan
harmoni dalam masyarakat. Oleh karena itu, titik ini, memainkan peran penting
dalam membuat sebuah komunitas yang hidup dan bersemangat (Mudiyanto dan Bambang,
2009).
Manusia saling
membutuhkan satu sama lain. Dari rasa saling membutuhkan tersebut timbul hasrat
untuk membentuk suatu kelompok yang mempunyai suatu pandangan yang sama, baik
pandangan berpolitik, berkesenian, atau pandangan lainnya. Nah dari situ lah
dapat diketahui apa manfaat dari suatu organisasi. Oleh karena itu, organisasi
merupakan wahana aktualisasi diri manusia/individu (Turner, 2009).
2.7
HETEROGENITAS DAN PERBEDAAN PENDAPAT
Perbedaan adalah suatu
hal yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia. Semakin maju perkembangan jaman,
perbedaan pun semakin jelas terlihat. Perbedaan tidak memandang bulu, baik itu
hal besar ataupun kecil pasti akan ada perbedaan. (Ema, 2007).
Menurut Ni Luh (2013),
perbedaan pendapat, percekcokan kecil dianggap sebagai suatu dinamika
kehidupan yang selalu ada dalam kehidupan bersama. Perbedaan pendapat
adalah sesuatu yang seharusnya terjadi dan tidak perlu dipermasalahkan. Artinya
perbedaan yang sifatnya tidak peka dan tidak menimbulkan masalah. Kalaupun
menimbulkan masalah, dengan mudah dapat diselesaikan
Dalam proses
interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan
akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya.
Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar
kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya
ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain;sifat-sifat pribadi yang berbeda,
perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, dan perbedaan nilai.
Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana
konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang
saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung
satu sama lain,menuju pencapaian tujuan organisasi (Lambert et al.2006).
Bahwasanya
ada “hal-hal lain (liyan)” atau the others (cf. Mulkhan, 2007:1; Atmadja,
2007:7) dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebuah kepastian. Namun,
ke-liyan-an itu tidak perlu harus menjadi biang keladi perpecahan.
2.8 PELAYANAN MASYARAKAT,DITEMPATKAN
SECEPAT DAN SEDEKAT MUNGKIN PADA YANG
BERKEPENTINGAN
Selama ini kita
menyadari bahwa pembangunan yang dilaksanakan baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah belum mencerminkan tingkat pemberdayaan masyarakat (miskin)
maupun daerah secara optimal. Bahkan pembangunan yang dilaksanakan terkadang
tidak sesuai atau tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat sebenarnya (Suparno
dan Suhaenah, 2006).
Mungkin terjadi
masyarakat secara keseluruhan yang berada pada wilayah tertentu sama sekali
belum berdaya. Dengan demikian, orientasi pemberdayaan memang secara tegas
mnunjukan sesuatu target group masyarakat itu sendiri. Di sisi lain
saat mungkin terjadi bahwa sasaran yang perlu diberdayakan hanyalah merupakan
bagian dari suatu masyarakat saja, yaitu khususnya pihak yang belum memiliki
daya (Adi dan Isbandi, 2008).
Peningkatan pemerintah
bukan hanya diarahkan pada upaya “penguatan” pemerintah secara sentralistis,
melainkan dengan cara memberikan peranan yang lebih besar kepada daerah dan
masyarakat melalui strategi dan pola terarah dari konsep desentralisasi
(otonomi daerah) (Rohman, 2010).
Pemberdayaan masyarakat
harus difokuskan pada kelompok masyarakat didaerah, yang merupakan bagian
terbesar dari populasi masyarakat Indonesia. Sehingga merupakan kegiatan
strategis yang harus didukung oleh semua komponen bangsa agar dapat
memberdayakan dan melepaskan masyarakat didaerah-daerah dari ketergantungannya
pada pemerintah pusat (Darmastuti, 2010).
2.9
MANAGING KONFLIK
Untuk dapat
menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, tentunya harus diketahui
penyebab konflik yang terjadi. Dalam pandangan teori konflik bahwa masyarakat
selalu dalam kondisi perubahan, dan setiap elemen dalam masyarakat memberikan
sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat (Bambang, 2007).
Diungkapkan dalam penelitian Irawati
(2007) bahwa berbagai perbedaan yang muncul dalam organisasi yang dapat
menimbulkan silang pendapat, pertengkaran atau bahkan konflik di dalam tubuh organisasi.
Adanya job design dan job descript
ion secara otomatis telah memposisikan seseorang sebagai
kompetitor bagi sesamanya, sehingga menimbulkan persaingan yang seringkali
berakibat buruk bagi kinerja organisasi secara
keseluruhan. Saat ini,deskripsi jabatan mulai ditinggalkan dan beralih
pada sistem team description. Apabila
timbul persaingan bahkan permusuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi,maka
pimpinan harus dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh anggota
organisasinya serta mencoba mengatasi konflik yang muncul tanpa merugikan
organisasi itu sendiri. Dengan kata lain manajemen harus mampu memfasilitasi berbagai kegiatan di dalam
organisasi agar menghasilkan kinerja yang baik dengan tingkat konflik intern
minimal.
Menurut
Kwantes et al. (2008) dibutuhkan lima strategi mengelola konflik yaitu dengan
mewajibkan, mengintegrasikan, menghindari, mendominasi dan mengorbankan serta
memberikan dampak pada kinerja personal dan kinerja kelompok.
Untuk menciptakan
dan meningkatkan kinerja baik individu maupun tim, diperlukan strategi dalam
mengelola konflik agar tidak menimbulkan kerugian bagi semua pihak seperti
kerugian psikis pribadi karyawan itu sendiri, kerugian nilai hubungan dengan
rekan sekelompok kerja serta kerugian bagi perusahaan/lembaga organisasi secara
keseluruhan (Tang 2007).
DAFTAR
PUSTAKA
Adi, Rukminto Isbandi, 2008. Intervensi
Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai
Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Andri Wirawan. 2010. Pengembangan Pembelajaran
Inkuiri Sosial Pada Materi Interaksi
Sosial Mata Pelajaran Sosiologi. Jurnal Komunitas, 2 (2)
: 164 173
Ariestita, Putu Gede. 2006. Teknik Analisis.
Bahan Kuliah: Teknik Analisa Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Bambang Setiarso. 2007. Pendekatan “
KNOWLEDGEBASE ECONOMY” Untuk Pemngembangan
Masyarakat.Ilmu Komputer
Cooperrider D. L., Whitney D. 2006. A Positive
Revolution in Change: Appreciative
Inquiry, 1 : 2-3
Dahlsrud, Alexander. 2008. How Corporate Social
Responsibility is Defined: an Analysis
of 37 Definitions. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 15 : 1-13
Darmastuti, R. & Mustika KP. 2010. Two Ways Communications:
Sebuah Model Pembelajaran dalam Komunitas
Samin Sukolilo Pati. Jurnal Ilmu Komunikasi,
8 (2) : 204-216
Eko Parsojo, 2006, Konstruksi Ulang Hubungan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di
Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme,
Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap FISIP UI, Depok
Ema Khotimah. 2007. Memahami Komunitas Antar
Budaya. Mediator, Vol 1 (1)
Hendra Oktiana Sari. 2014. Interaksi Sosial
Antar Anggota Pesantren Darussa’Adah
Dengan Masyarakat Sekitar Di Desa Pinang Banjar Kecamatan
Sungai Lilim Kabupaten Musi Banyuasin. Jurnal Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Universitas Sriwijaya
Irawati D.
2007. Manajemen Konflik sebagai upaya
meningkatkan kinerja teamwork dalam
organisasi. Segmen Jurnal Manajemen Bisni, (2): 15-27.
Isma Rosyida., Fredian Tonny Nasdian. 2011.
Partisipasi Masyarakat Dan Stakeholder
Dalam Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility
(CSR) Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Persedaan. ISSN : 5 (1) : 1978-4333
Kwantes CT,
Karam CM, Kuo BCH, Towson S. 2008. Organizational citizenship behaviors: The influence of culture. Journal
of Intercultural Relations, 32 : 229-243.
Lambert EG,
Pasupileti S, Cluse-Tolar T, Jennings M, Baker D.2006. The impact of work-family conflict on social work and
human service worker job satisfaction and organizational commitment. An exploratory
study. Administration in Social
Work, 30(3): 55-74.
Leis Yigibalom. 2013. Peran Interaksi Anggota
Keluarga Dalam Upaya Mempertahankan
Harmonisasi Dalam Kehidupan Berkeluarga Di Desa Kumuluk
Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya. Jurnal, 2 (4)
Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat
Ditinjau Dari Proses Pengembangan
Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan. Tesis.
Program Studi Magister Teknik
Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
Mudjiyanto, Bambang. 2009. Metode Etnografi Dalam
Penelitian Komunikasi. Jurnal
komunikasi massa, 5 (1) : 79-87
Mulkhan,
Abdul Munir. 2007. “The Others dalam Bhineka Berbangsa dan Beragama” (Makalah dalam Seminar Nasional
Multikulturalisme, Agama, dan Etnisitas).
Denpasar: Universitas Hindu Indonesia, Program Magister Ilmu Hukum dan Kebudayaan.
Nasdian, Fredian Tonny. 2006. Pengembangan
Masyarakat (Community Development).
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ni Luh Ratih Maha Rani . 2013. Persepsi Jurnalis dan
Praktisi Humas terhadap Nilai Berita.
Jurnal Ilmu Komunikasi, 10 (1) : 83-96
Oakley, Peter. 2007. Extension and Technological Transfer: The Need for an Alternative. Journal HortScience, 23
(3)
Raharjo, Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan
dan Perkotaaan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Rahman, Arief. 2009. Implementasi Corporate Social
Responsibility sebagai Kenggulan
Kompetitif Perusahaan.Jurnal Sinergi (Kajian Bisnis dan Manajemen), 6 (2)
: 37-46.
Rohman, A. 2010. Romours and Realities of Marriage
Practices in Contemorary Samin Society.
Jurnal Humaniora. 22 (2) : 113-124
Setiadi, Elly dan Usman Kolip. 2011. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Sipahelut, Michel. 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat
Nelayan Di Kecamatan Tobelo Kabupaten
Halmahera Utara. Tesis. IPB. Bogor.
Siti Amanah. 2006. Penyuluhan Prikanan. Jurnal
Penyuluhan. ISSN, 2 (4) : 1858 2664
Soekanto, Surjono. 2006.Sosiologi Suatu
Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suhendra, 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan
Masyarakat. Bandung: Alfabeta.
Suparno., A. Suhaenah. 2006. Membangun
Kompetensi Belajar. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Tang HC. 2007. A study of the relationship of the perception of oragnizational promises among fakulty and staff members in the technical and vocationalcolleges.The Journal of American
Academy of Business,Cambridge, 12(1).
Todaro. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jakarta:
Erlangga.
Turner, T. 2009. Anthropology and Multiculturalism:
What is Anthropology that Multiculturalists
should be Mindful of it. Cultural Anthropology. 8 (4)
: 411-429.
Usman Thalib. 2014. Kajian Pembangunan Berbasis
Komunitas. Studi Kasus Di Daerah
Maluku
Widodo., Dwi Anto Teguh Setyono., Prabang., KRH, I
Gusti Ayu. 2014. Program Pemberdayaan
Msyarakat Didesa Terubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dalam
Rangka Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi dan Daya
Dukung Lingkungan Di Taman Nasional Gunung Merbabu. Jurnal Ekosains, 6 (2): 24-38
Zamhariri. 2008. Pengembangan Masyarakat Perspektif
Pemberdayaan dan Pembangunan
Komunitas. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.Vol.4 (1)