Rabu, 14 September 2016



PEMBANGUNAN MASYARAKAT
1. Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan menurut Suhendra (2006:74-75) adalah “suatu kegiatan yang berkesinambungan, dinamis, secara sinergis mendorong keterlibatan semua potensi yang ada secara evolutif dengan keterlibatan semua potensi”.

            Selanjutnya pemberdayaan menurut Ife (dalam Suhendra, 2006:77) adalah “meningkatkan kekuasaan atas mereka yang kurang beruntung (empowerment aims to increase the power of disadvantage)”.
Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan  masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan  kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan  martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku  anggota masyarakat.
Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu  kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan  adalah  sebuah  proses  dan  tujuan.  Sebagai  proses,  pemberdayaan  adalah  serangkaian  kegiatan  untuk  memperkuat  kekuasaan  atau  keberdayaan  kelompok  lemah  dalam  masyarakat,  termasuk  individu-individu  yang  mengalami  masalah  kemiskinan.  Sebagai  tujuan,  maka  pemberdayaan  merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial;  yaitu  masyarakat  yang  berdaya,  memiliki  kekuasaan  atau  mempunyai  pengetahuan  dan  kemampuan  dalam  memenuhi  kebutuhan  hidupnya  baik  yang  bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan diri, mampu  menyampaikan  aspirasi,  mempunyai  mata  pencaharian,  berpartisipasi  dalam  kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Sipahelut, 2010).






2. Membentuk Komunitas yang baik
Komunitas yang baik tidak berdiri begitu saja. Ada beberapa hal yang dapat mencirikan suatu komunitas yang baik, yaitu sebagai berikut :
2.1 Berinteraksi satu dengan yang lain (primary group)
Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (SoejonoSoekanto, 2006:104).
Menurut (Zamhariri, 2008), proses interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat dan keluarga, secara sosiologis memiliki dua syarat utama, yaitu:
  1. Adanya Kontak Sosial: kontak sosial adalah sebuah aksi individu/kelompok dalam bentuk isyarat yang memiliki makna bagi si pelaku, dan si penerima membalas aksi tersebut dengan reaksi
  2. Adanya Komunikasi: komunikasi itu merupakan aksi antara dua pihak/lebih yang melakukan hubungan dalam bentuk saling memberikan tafsir atas pesan yang disampaikan oleh masing-masing fihak.
Suatu interaksi sendiri tidak akan terbentuk tanpa adanya kontak sosial dan komunikasi yang terjalin. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama,persaingan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (Soekanto,2006)

Menurut Indah (2013), dalam berinteraksi seseorang individu atau kelompok sosial sedang beru­saha atau belajar untuk memahami tindakan sosial seorang individu ataupun kelompok sosial lain. Interaksi sosial akan berjalan dengan tertib dan teratur bila individu dalam masyarakat dapat bertindak sesuai dengan konteks sosialnya, yakni tindakan yang dise­suaikan dengan situasi sosial saat itu, tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, serta individu bertindak sesuai den­gan kedudukannya dalam masyarakat. Terdapat tiga jenis interaksi sosial, yakni interaksi antara individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompokdan anta­ra individu dangan kelompok (Leis, 2013).





2.2 KOMUNITAS MEMILIKI OTONOMI
Kesalahan dan kegagalan di daerah akan menjadi masalah lokal yang harus diselesaikan secara lokal pula (Nasdian, 2006).
Usman (2014) menyatakan kebijakan otonomi daerah tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa bahkan dapat memperkuat integrasi bangsa, dengan alasan : (1) Rakyat dan institusi perwakilan rakyat di daerah merasa dipercaya oleh pemerintah, dan karena itu merasa bangga sebagai bagian dari pemerintah nasional. (2) Kepala Pemerintahan dan jajaran eksekutif di daerah memikul kewajiban untuk memberi pengabdian mereka yang terbaik kepada rakyat di wilayahnya, karenakeberhasilan atau kegagalan mereka tidak akan lepas dari penilaian rakyat setempat. (3) Berdasarkan pada point 1 dan 2, akan semakin sulit bagi kelompok separatis atau anti nasional di daerah untuk melakukan manuver dengan alasan ketidak-puasan terhadap kebijakan pemerintah pusat, seperti yang selama ini terjadi.
Menurut (Hendra, 2014), kewenangan otonomi diberikan kepada daerah ialah untuk memelihara dan mengembangkan identitas budaya lokal. Tanpa otonomi yang luas, daerah-daerah akan kehilangan identitas budaya lokal baik berupa adat istiadat maupun agama, seperti di Bali, Sumatera Barat, Riau, Aceh, Maluku, Papua dan Sumatera Utara.
Dengan adanya pengaturan secara khusus, pelaksanaan pemerintahan tidak menghilangkan sistem hukum nasional. Bagaimanapun, derajat hubungan pusat dan daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meski demikian, tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Heinz Laufer dan Munch Ursula mengemukakan, elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari suatu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis atau sebaliknya (dalam Prasojo, 2006: 5).






2.3 KOMUNITAS MEMILIKI VIABILITAS
Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya. Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya (Cooperrider dan Whitney, 2006).
Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi (Siti, 2006).
Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendikusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan. Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya. Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. (Setiadi dan Kolip, 2010).
Penyelesaian atau pemecahan masalah adalah bagian dari proses berpikir. Sering dianggap merupakan proses paling kompleks di antara semua fungsi kecerdasan, pemecahan masalah telah didefinisikan sebagai proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari keterampilan-keterampilan rutin atau dasar (Andri, 2010).








2.4 DISTRIBUSI KEMAMPUAN YANG MERATA
Suatu komunitas, dalam anggotanya harus memiliki kemampuan atau kebebasan dalam berkehendak. Bebas menentukan kehendak adalah kekuatan seseorang untuk memilih atau tidak memilih kebaikan yang terbatas atau yang tidak terbatas (Ariestita, 2006).
Partisipsi masyarakat meningkatkan keberlanjutan ketika masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, masyarakat merasa memiliki dan termotovasi untuk mempertahankannya, namun memakan waktu sumberdaya logistik dan organisasinya merepotkan (Widodo, 2014).
Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar.

Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat.












2.5 KESEMPATAN SETIAP ANGGOTA
Tingkat partisipasi menurut Dahlsrud (2008) terdiri dari empat kategori, yakni tingkat pengambilan keputusan (perencanaan), tingkat pelaksanaan, tingkat evaluasi, dan tingkat pemanfaatan hasil. Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Rahman (2009) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat.
Menurut Suhirman dan Todaro (2006), pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi. Mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar.
Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan (Isma dan Fredian, 2011).








2.6 KOMUNITAS YANG MEMBERI MAKNA
Menurut Oakley (2007) komunikasi merupakan suatu proses ketika seseorang atau suatu kelompok masyarakat menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungannya. Pembagian kerja, perasaan asosiasi, kebersamaan, dan kerja sama – semua ini membantu dalam membangun suasana yang sehat yang penuh dengan persatuan, keselarasan dan persahabatan.
Komunitas adalah sebuah proses alamiah dimana orang-orang yang hidup bersama untuk memaksimalkan kepentingan mereka, merasa bahwa kepentingan diri sendiri dapat ditemukan dalam kelompok. Komunikasi bagi seorang anggota dalam suatu komunitas sangat penting untuk dilakukan, komunikasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media seperti media sosial guna memudahkan proses pendekatan antar sesama anggota  (Raharjo Adisasmita, 2006).
Dalam komunitas orang hidup dengan berasosiasi dengan satu sama lain. Perasaan asosiasi adalah perasaan manusia yang umum. Hal ini membantu dalam membangun perdamaian dan harmoni dalam masyarakat. Oleh karena itu, titik ini, memainkan peran penting dalam membuat sebuah komunitas yang hidup dan bersemangat (Mudiyanto dan Bambang, 2009).
Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Dari rasa saling membutuhkan tersebut timbul hasrat untuk membentuk suatu kelompok yang mempunyai suatu pandangan yang sama, baik pandangan berpolitik, berkesenian, atau pandangan lainnya. Nah dari situ lah dapat diketahui apa manfaat dari suatu organisasi. Oleh karena itu, organisasi merupakan wahana aktualisasi diri manusia/individu (Turner, 2009).









2.7 HETEROGENITAS DAN PERBEDAAN PENDAPAT
Perbedaan adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia. Semakin maju perkembangan jaman, perbedaan pun semakin jelas terlihat. Perbedaan tidak memandang bulu, baik itu hal besar ataupun kecil pasti akan ada perbedaan. (Ema, 2007).
Menurut Ni Luh (2013), perbedaan pendapat, percekco­kan kecil dianggap sebagai suatu dinamika kehidupan yang selalu ada dalam kehidupan bersama.  Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang seharusnya terjadi dan tidak perlu dipermasalahkan. Artinya perbedaan yang sifatnya tidak peka dan tidak menimbulkan masalah. Kalaupun menimbulkan masalah, dengan mudah dapat diselesaikan
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain;sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, dan perbedaan nilai. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain,menuju pencapaian tujuan organisasi (Lambert et al.2006).

Bahwasanya ada “hal-hal lain (liyan)” atau the others (cf. Mulkhan, 2007:1; Atmadja, 2007:7) dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebuah kepastian. Namun, ke-liyan-an itu tidak perlu harus menjadi biang keladi perpecahan.














2.8 PELAYANAN MASYARAKAT,DITEMPATKAN SECEPAT  DAN SEDEKAT MUNGKIN PADA YANG BERKEPENTINGAN

Selama ini kita menyadari bahwa pembangunan yang dilaksanakan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum mencerminkan tingkat pemberdayaan masyarakat (miskin) maupun daerah secara optimal. Bahkan pembangunan yang dilaksanakan terkadang tidak sesuai atau tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat sebenarnya (Suparno dan Suhaenah, 2006).
Mungkin terjadi masyarakat secara keseluruhan yang berada pada wilayah tertentu sama sekali belum berdaya. Dengan demikian, orientasi pemberdayaan memang secara tegas mnunjukan sesuatu target group masyarakat itu sendiri. Di sisi lain saat mungkin terjadi bahwa sasaran yang perlu diberdayakan hanyalah merupakan bagian dari suatu masyarakat saja, yaitu khususnya pihak yang belum memiliki daya (Adi dan Isbandi, 2008).
Peningkatan pemerintah bukan hanya diarahkan pada upaya “penguatan” pemerintah secara sentralistis, melainkan dengan cara memberikan peranan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat melalui strategi dan pola terarah dari konsep desentralisasi (otonomi daerah) (Rohman, 2010).
Pemberdayaan masyarakat harus difokuskan pada kelompok masyarakat didaerah, yang merupakan bagian terbesar dari populasi masyarakat Indonesia. Sehingga merupakan kegiatan strategis yang harus didukung oleh semua komponen bangsa agar dapat memberdayakan dan melepaskan masyarakat didaerah-daerah dari ketergantungannya pada pemerintah pusat (Darmastuti, 2010).









2.9  MANAGING KONFLIK
Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, tentunya harus diketahui penyebab konflik yang terjadi. Dalam pandangan teori konflik bahwa masyarakat selalu dalam kondisi perubahan, dan setiap elemen dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat (Bambang, 2007).
Diungkapkan dalam penelitian Irawati (2007) bahwa berbagai perbedaan yang muncul dalam organisasi yang dapat menimbulkan silang pendapat, pertengkaran atau  bahkan konflik di dalam tubuh organisasi. Adanya job design dan  job descript ion  secara  otomatis telah memposisikan seseorang sebagai kompetitor bagi sesamanya, sehingga menimbulkan persaingan yang seringkali berakibat buruk bagi kinerja organisasi secara  keseluruhan. Saat ini,deskripsi jabatan mulai ditinggalkan dan beralih pada sistem  team description. Apabila timbul persaingan bahkan permusuhan yang seharusnya tidak perlu terjadi,maka pimpinan harus dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh anggota organisasinya serta mencoba mengatasi konflik yang muncul tanpa merugikan organisasi itu sendiri. Dengan kata lain manajemen harus mampu  memfasilitasi berbagai kegiatan di dalam organisasi agar menghasilkan kinerja yang baik dengan tingkat konflik intern minimal.
Menurut Kwantes et al. (2008) dibutuhkan lima strategi mengelola konflik yaitu dengan mewajibkan, mengintegrasikan, menghindari, mendominasi dan mengorbankan serta memberikan dampak pada kinerja personal dan kinerja kelompok.
Untuk menciptakan dan meningkatkan kinerja baik individu maupun tim, diperlukan strategi dalam mengelola konflik agar tidak menimbulkan kerugian bagi semua pihak seperti kerugian psikis pribadi karyawan itu sendiri, kerugian nilai hubungan dengan rekan sekelompok kerja serta kerugian bagi perusahaan/lembaga organisasi secara keseluruhan (Tang 2007).







DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rukminto Isbandi, 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat   Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo   Persada
Andri Wirawan. 2010. Pengembangan Pembelajaran Inkuiri Sosial Pada Materi      Interaksi Sosial Mata Pelajaran Sosiologi. Jurnal Komunitas, 2 (2) : 164        173
Ariestita, Putu Gede. 2006. Teknik Analisis. Bahan Kuliah: Teknik Analisa Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Bambang Setiarso. 2007. Pendekatan “ KNOWLEDGEBASE ECONOMY” Untuk            Pemngembangan Masyarakat.Ilmu Komputer
Cooperrider D. L., Whitney D. 2006. A Positive Revolution in Change:       Appreciative Inquiry, 1 : 2-3
Dahlsrud, Alexander. 2008. How Corporate Social Responsibility is Defined: an     Analysis of 37 Definitions. Corporate Social Responsibility and   Environmental Management, 15 : 1-13
Darmastuti, R. & Mustika KP. 2010. Two Ways Com­munications: Sebuah Model  Pembelajaran dalam Komunitas Samin Sukolilo Pati. Ju­rnal Ilmu        Komunikasi, 8 (2) : 204-216
Eko Parsojo, 2006, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap FISIP UI, Depok
Ema Khotimah. 2007. Memahami Komunitas Antar Budaya. Mediator, Vol 1 (1)
Hendra Oktiana Sari. 2014. Interaksi Sosial Antar Anggota Pesantren         Darussa’Adah Dengan Masyarakat Sekitar Di Desa Pinang Banjar           Kecamatan Sungai Lilim Kabupaten Musi Banyuasin. Jurnal Skripsi.            Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya
Irawati D. 2007. Manajemen  Konflik sebagai upaya meningkatkan kinerja teamwork dalam organisasi. Segmen Jurnal Manajemen Bisni, (2): 15-27.
Isma Rosyida., Fredian Tonny Nasdian. 2011. Partisipasi Masyarakat Dan Stakeholder Dalam Penyelenggaraan Program Corporate Social     Responsibility (CSR) Dan Dampaknya Terhadap Komunitas Persedaan.     ISSN : 5 (1) : 1978-4333
Kwantes CT, Karam CM, Kuo BCH, Towson S. 2008. Organizational citizenship  behaviors: The influence of culture. Journal of Intercultural Relations, 32 :          229-243.
Lambert EG, Pasupileti S, Cluse-Tolar T, Jennings M, Baker D.2006. The impact   of work-family conflict on social work and human service worker job   satisfaction  and organizational commitment. An exploratory study.            Administration in Social Work, 30(3): 55-74.
Leis Yigibalom. 2013. Peran Interaksi Anggota Keluarga Dalam Upaya      Mempertahankan Harmonisasi Dalam Kehidupan Berkeluarga Di Desa        Kumuluk Kecamatan Tiom Kabupaten Lanny Jaya. Jurnal, 2 (4)
Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari Proses           Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di           Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan. Tesis. Program Studi Magister          Teknik Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
Mudjiyanto, Bambang. 2009. Metode Etnografi Dalam Penelitian Komunikasi.      Jurnal komunikasi massa, 5 (1) : 79-87
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. “The Others dalam Bhineka Berbangsa dan  Beragama” (Makalah dalam Seminar Nasional Multikulturalisme, Agama,  dan Etnisitas). Denpasar: Universitas Hindu Indonesia, Program Magister            Ilmu Hukum dan Kebudayaan.
Nasdian, Fredian Tonny. 2006. Pengembangan Masyarakat (Community    Development). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ni Luh Ratih Maha Rani . 2013. Persepsi Jurnalis dan Praktisi Humas terhadap      Nilai Berita. Jurnal Ilmu Komunikasi, 10 (1) : 83-96
Oakley, Peter. 2007. Extension and Technological Transfer: The Need for an          Alternative. Journal HortScience, 23 (3)
Raharjo, Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaaan. Yogyakarta:            Graha Ilmu.
Rahman, Arief. 2009. Implementasi Corporate Social Responsibility sebagai           Kenggulan Kompetitif Perusahaan.Jurnal Sinergi (Kajian Bisnis dan            Manajemen), 6 (2) : 37-46.  
Rohman, A. 2010. Romours and Realities of Marriage Practices in Contemorary    Samin Society. Jur­nal Humaniora. 22 (2) : 113-124
Setiadi, Elly dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana          Prenada Media Group.
Sipahelut, Michel. 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Di    Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Tesis. IPB. Bogor.
Siti Amanah. 2006. Penyuluhan Prikanan. Jurnal Penyuluhan. ISSN, 2 (4) : 1858   2664
Soekanto, Surjono. 2006.Sosiologi Suatu  Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo       Persada.
Suhendra, 2006. Peranan Birokrasi dalam Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:  Alfabeta.
Suparno., A. Suhaenah. 2006. Membangun Kompetensi Belajar. Direktorat            Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Tang HC. 2007. A study of the relationship of the perception of  oragnizational     promises among fakulty and staff members in the technical and  vocationalcolleges.The Journal of American Academy of     Business,Cambridge, 12(1).
Todaro. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Turner, T. 2009. Anthropology and Multiculturalism: What is Anthropology that    Multiculturalists should be Mindful of it. Cultural Anthropology. 8 (4) :  411-429.
Usman Thalib. 2014. Kajian Pembangunan Berbasis Komunitas. Studi Kasus Di   Daerah Maluku
Widodo., Dwi Anto Teguh Setyono., Prabang., KRH, I Gusti Ayu. 2014. Program            Pemberdayaan Msyarakat Didesa Terubatang Kecamatan Selo Kabupaten        Boyolali           dalam Rangka Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi dan   Daya Dukung Lingkungan Di Taman Nasional Gunung Merbabu. Jurnal    Ekosains, 6 (2): 24-38
Zamhariri. 2008. Pengembangan Masyarakat Perspektif Pemberdayaan dan            Pembangunan Komunitas. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam.Vol.4        (1)