LAPORAN
PRAKTIKUM
MATA KULIAH FISIOLOGI HEWAN
AKUATIK
Oleh :
Nama : Alan Angko Wijoyo
NIM : L1C015025
Kelompok : 7
Asisten :
Indriani Sumsufi
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERIKANAN
DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
LEMBAR
PENGESAHAN
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
Oleh
:
ALAN ANGKO WIJOYO
L1C015025
Disusun Untuk
Memenuhi Kelengkapan Penilaian Praktikum Mata Kuliah Fisiologi Hewan Akuatik Di
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Disetujui,
Purwokerto,
17 juni 2017
Mengetahui
:
Asisten Praktikum Mahasiswa
INDRIANI
SUNSUFI ALANANGKO WIJOYO
NIM. H1K0130
NIM.L1C015025
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan praktikum Fisiologi Hewan Akuatik. Laporan
praktikum ini disusun untuk memenuhi nilai praktikum mata kuliah Fisiologi
Hewan Akuatik di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Jenderal
Soedirman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Tim Dosen selaku tim pengajar mata
kuliah Fisiologi Hewan Akuatik yang telah memberikan pengetahuan dalam setiap
kegiatan perkuliahan.
2.
Seluruh asisten praktikum Fisiologi
Hewan Akuatik yang telah memberikan arahan
selama berlangsungnya kegiatan praktikum.
3.
Semua pihak yang telah membantu penulis
sehingga dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa
laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan laporan
ini. Semoga laporan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Purwokerto, 17
Juni 2017
Penulis
ACARA
I
LAJU DIGESTI PADA IKAN
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Proses
laju digesti dapat disebut pola dengan proses laju pengosongan lambung. Proses
digesti ikan dimulai dari lambung (pada ikan yang mempunyai lambung) dan
dilanjutkan di intestine yang akan berakhir di lubang pembuangan bahan sisa.
Proses digesti dimulai dari makanan masuk ke mulut, dicerna secara mekanik dan
dibantu oleh kelenjar saliva kemudian masuk ke faring, esofagus dan tertampung
dilambung untuk dicerna secara kimiawi dengan bantuan enzim-enzim pencernaan.
Makanan yang telah menjadi molekul-molekul kecil kemudian masuk ke usus untuk
proses penyerapan atau absorpsi yang sisanya menuju rectum dan ke anus untuk
dibuang. Hasil digesti yang berupa asam amino, asam lemak dan monosakarida akan
diabsorpsi oleh epithel intestine kemudian diedarkan keseluruh tubuh oleh
system sirkulasi. Proses digesti di ikan juga ada yang berkaitan dengan
penghambatan oleh adanya ketersediaan pelarangan hukum. Artinya sumber untuk
mendigesti yang harus selalu dijaga dengan baik agar kondisi ikan baik internal
maupun eksternalnya (Gumisiriza, 2008).
Mengukur laju digesti pada ikan dapat dilakukan dengan
mengukur kepadatan makanan pada lambung (bobot lambung). Temperatur, ukuran
partikel makanan, dan metode percobaan sangat berpengaruh terhadap hasil
pengukuran bobot lambung. Meningkatnya suhu air akan meningkatkan laju digesti
ikan pada spesies tertentu (Wurtsbaugh et al., 1993).
Ikan lele (Clarias batrachus) termasuk ke dalam
golongan omnivor. Pakan alaminya tediri dari plankton, udang-udangan kecil,
siput, cacing, jentik nyamuk dan sebagainya. Jika dibudidayakan di kolam,
makanan tambahannya dapat berupa dedak halus, sisa-sisa dapur, daging bekicot,
belatung dan pelet. Karena itu, lele digolongkan sebagai pemakan segala
(omnivora). Lele lebih bersifat sebagai pemakan daging (karnivora). Lele memang
sangat rakus jika diberi makanan apa saja, sampai–sampai bangkaipun dimakannya
sehingga ia juga digolongkan sebagai pemakan bangkai (scavenger). Jika
penebaran yang terlalu tinggi, maka dalam keadaan lapar dapat menimbulkan sifat
saling memangsa (kanibal) (Santoso, 1994).
1.2.
Tujuan
Tujuan
dari praktikum kali ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui lambung yang kosong
dan berisi pakan.
2. Mahasiswa terampil dalam mengisolasi lambung
ikan dan dapat menghitung laju pengosongan lambung.
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat–alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah akuarium kaca
berukuran 30 x 50 x 30 cm sebanyak 1 buah, gunting, pinset, baki,alat bedah,thermometer,hiter dan timbangan analitik.
2.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan
dalam praktikum kali ini adalah ikan Lele besar (Clarias batrachus), dan pakan ikan (pelet).
2.2. Metode
Akuarium
disiapkan dan diisi dengan air setinggi 25 cm, kemudian diberi aerasi,Ikan Lele
ditebarkan dengan ukuran yang seragam pada akuarium yang telah disediakan,Ikan Lele diberi pakan (pelet) secukupnya, kemudian ikan dibiarkan
mengkonsumsi pakan selama 15 menit, Salah satu ikan Lele besar diambil dari akuarium dan dilakukan pembedahan
untuk mengambil lambung ikan. Setelah lambung diambil, lambung ikan ditimbang
untuk mengetahui bobot lambung. Bobot lambung yang diperoleh dinyatakan sebagai
bobot lambung dalam keadaan kenyang atau 0 jam setelah makan (Bx),30 menit setelah pemberian makan, salah satu ikan Lele besar diambil dari
akuarium dan ikan dibedah seperti prosedur di atas. Bobot lambung yang
diperoleh selanjutnya dinyatakan dalam persentase bobot lambung pada waktu 30
menit setelah makan terhadap bobot lambung pada waktu kenyang (By),Prosedur di atas dilakukan kembali untuk ikan Lele yang lain pada waktu 40 menit setelah pemberian pakan (Bz),Data hasil pengamatan diplotkan dalam bentuk grafik hubungan antara lama
pengamatan dengan persentase bobot lambung.
2.3. Waktu
dan Tempat
Praktikum
acara laju
digesti pada ikan lele
dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2017 di Laboratorium Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 1. Hasil perhitungan laju digesti pada ikan Clarias batrachus
Perlakuan
(menit)
|
Laju Digesti
(%)
|
Rerata
(%)
|
Ulangan 1
|
Ulangan 2
|
10
|
85,7
|
58,82
|
72,86
|
20
|
111,7
|
195
|
153,35
|
30
|
221,43
|
322,22
|
271,825
|
40
|
104
|
74,2
|
88,1
|
3.2. Pembahasan
Laju digesti adalah laju kecepatan
pemecahan makanan dari tubuh ikan dari molekul yang kompleks ke molekul yang
lebih sederhana dan kemudian akan diabsorpsi oleh tubuh ikan. Proses digesti
yang terjadi dalam lambung dapat diukur dengan mengetahui laju pengosongan
lambung. Saluran pencernaan pada ikan dimulai dari rongga mulut (cavum
oris). Rongga mulutmemiliki gigi-gigi kecil yang berbentuk kerucut
pada geraham bawah dan lidah pada dasar mulut yang tidak dapat digerakan serta
banyak menghasilkan lendir, tetapi tidak menghasilkan ludah
(enzim). Makanan masuk ke rongga mulut makanan lalu masuk ke
esophagus melalui faring yang terdapat di daerah sekitar insang. Esofagus
berbentuk kerucut, pendek, terdapat di belakang insang dan bila tidak dilalui
makanan lumennya menyempit.Makanan di kerongkongan didorong masuk ke
lambung, lambung pada umum-nya membesar, tidak jelas batasnya dengan usus. Ikan
jenis tertentu memiliki tonjolan buntu untuk memperluas bidang penyerapan
makanan (Sunde et al., 2004).
Praktikum dilaksanakan dengan
menyiapkan akuarium dan diisi dengan air setinggi
25 cm, kemudian Ikan Lele
ditebarkan dengan ukuran yang seragam pada akuarium yang telah disediakan,Ikan Lele diberi pakan (pelet) secukupnya, kemudian ikan dibiarkan
mengkonsumsi pakan selama 10,20,30,dan 40 menit, Salah satu ikan Lele besar
diambil dari akuarium dan dilakukan pembedahan untuk mengambil lambung ikan.
Setelah lambung diambil, lambung ikan ditimbang untuk mengetahui bobot lambung.
Bobot lambung yang diperoleh dinyatakan sebagai bobot lambung dalam keadaan
kenyang atau 0 jam setelah makan (Bx),30 menit setelah pemberian makan, salah satu ikan Lele besar diambil dari
akuarium dan ikan dibedah seperti prosedur di atas. Bobot lambung yang
diperoleh selanjutnya dinyatakan dalam persentase bobot lambung pada waktu 30
menit setelah makan terhadap bobot lambung pada waktu kenyang (By),Prosedur di atas dilakukan kembali untuk ikan Lele yang lain pada waktu 40 menit setelah pemberian pakan (Bz),Data hasil pengamatan diplotkan dalam bentuk grafik hubungan antara lama
pengamatan dengan persentase bobot lambung. Mengukur laju digesti
pada ikan dapat dilakukan dengan mengukur kepadatan makanan pada lambung (bobot
lambung). Temperatur, ukuran partikel makanan, dan metode percobaan sangat
berpengaruh terhadap hasil pengukuran bobot lambung. Meningkatnya suhu air akan
meningkatkan laju digesti ikan pada spesies tertentu (Wurtsbaugh et al.,
1993).
Hasil praktikum acara Laju Digesti Pada Ikan dapat dilihat pada gambar
dibawah ini:
Gambar 1. Grafik laju digesti pada ikan Clarias batrachus
Hasil dari
praktikum laju digesti dapat diketahui dari grafik di atas yaitu dalam perlakuan
10,20,30,40 menit memiliki laju digesti yang berbeda-beda. Dalam 10 menit
memiliki rata-rata 72,6, 20 menit rata-rata 153,35, 30 menit rata-rata 271,825,
dan 40 menit rata-rata 89,1. Faktor yang mempengaruhi bobot lambung diantaranya
ukuran dari organisme tidak seragam karena semakin sedikit organisme maka
semakin sedikit pula organisme tersebut memakan pakan, selain itu faktor
lingkungan (pH dan temperatur rendah atau tinggi nafsu makan menurun) dan
kondisi organisme juga mempengaruhinya (Yuwono, 2001).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari praktikum ini adalah :
1. Lambung
yang kosong dan berisi pakan, dapat diketahui dengan cara membedah ikan.
2. Mengisolasi lambung ikan dan dapat menghitung
laju pengosongan lambung. Dalam 10 menit memiliki rata-rata 72,6, 20
menit rata-rata 153,35, 30 menit rata-rata 271,825, dan 40 menit rata-rata
89,1.
4.2. Saran
Praktikum
ini sudah sesuai dengan tujuan, namun dalam praktikum ini ada salah satu
anggota kelompok yang tidak mengikuti karena di bagi menjadi dua kelompok.
Sehinga ada anggota kelompok yang tidak tahu proses praktikumnya. Saya harap
praktikum selanjutnya semua bisa mengikuti praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Gumisiriza,
Roberth, Anthony Manoni, Mugassa Rubindamaugi, Frank Kansiime and Amelia Kivaisi. 2008. Enhancement of anaerobic
digestion of Nile perch fish processing
wastewater.African Journal of Biotechnology. Vol. 8(2), pp.328-333.
Sunde,
J., & Storer, T. J. 2004. General Zoology. Mc Graw-Hill Book
Company Inc, London.
Santoso.
1994. Petunjuk Praktis Budidaya Lele Dumbo dan Lokal. Kanisius,Yogyakarta.
Wurtsbaugh
, W.A. dan E, He,. 1993. Gastric evacuation rates in fish: An empirical model of the effects of temperature
and prey size, and an analysis of digestion in piscivorous
brown trout. Trans. Am. Fish. Soc. 122: 717-730.
Yuwono,
E. 2001. Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi Unsoed: Purwokerto.
LAMPIRAN
ACARA
II
RETENSI ENERGI
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pakan
merupakan salah satu unsur penting dalam kegiatan budidaya yang menunjang
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan budidaya. Pakan pada kegiatan
budidaya umumnya adalah pakan komersial yang menghabiskan sekitar 60-70% dari
total biaya produksi yang dikeluarkan. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya
pakan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memperbaiki nilai nutrisi pakan
yaitu dengan penambahan probiotik. Probiotik adalah produk yang tersusun oleh
biakan mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan
memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan
inang. Bakteri probiotik menghasilkan enzim yang mampu mengurai senyawa
kompleks menjadi sederhana sehingga siap digunakan ikan. Dalam meningkatkan
nutrisi pakan, bakteri yang terdapat dalam probiotik memiliki mekanisme dalam
menghasilkan beberapa enzim untuk pencernaan pakan seperti amylase, protease,
lipase dan selulose. Enzim tersebut yang akan membantu menghidrolisis nutrien
pakan (molekul kompleks), seperti memecah karbohidrat, protein dan lemak
menjadi molekul yang lebih sederhana akan mempermudah proses pencernaan dan
penyerapan dalam saluran pencernaan ikan (Arief M, 2014).
Pertumbuhan ikan yang diakibatkan oleh asupan pakan yang
diperoleh dapat diukur dari bertambahnya bobot ikan. Pertambahan yang terjadi
pada bobot ikan menandakan bahwa bertambah pula komponen-komponen penyusun
tubuh ikan yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, dan lain-lain yang
berasal tidak lain dari pakan ikan yang dikonsumsi. Komponen penyusun tubuh ini
dapat dinilai dalam satuan energi atau kalori yang dikandungnya. Maka,
pertambahan bobot ikan dapat dinilai pula sebagai pertambahan energi tubuh pada
ikan (Effendi, 1979).
Tingkat retensi energi dapat dicerminkan dengan rasio
pertambahan energi tubuh terhadap jumlah energi pakan yang dikonsumsi oleh ikan
uji. Selain itu, retensi energi juga akan mencerminkan seberapa besar energi
pakan berkontribusi terhadap pertambahan energi tubuh. Maka, energi yang
terdapat pada tubuh ikan untuk melakukan berbagai aktifitas maupun metabolisme
dapat dilakukan perhitungan yang akan menghasilkan hasil berupa angka dalam
membedakan konsumsi pakan yang dikonsumsi dengan jumlah energi yang terdapat
dalam tubuh ikan dengan menggunakan perhitungan retensi energi (Halver, 1989).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Retensi Energi adalah:
1. Untuk mengetahui cara perhitungan retensi energi
2. Untuk mengetahui penggunaan alat bomkalorimeter
II.
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Retensi Energi
Energi merupakan sesuatu yang tidak
terlihat tetapi dapat dihitung berdasarkan beberapa kondisi standar tertentu.
Retensi energi merupakan besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat
disimpan dalam tubuh. Retensi energi pada ikan juga dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Ikan karnivora lebih baik dalam
perolehan energi yang dialokasikan untuk petumbuhan dibandingkan dengan ikan
herbivore. Hal ini disebabkan ikan herbivora banyak mengkonsumsi bahan yang
sulit dicerna seperti selulosa sehingga limbah yang dikeluarkan lebih banyak
daripada ikan karnivora (Murtidjo, 2001)
2.2. Bom
Kalorimeter
2.2.1. Pengertian
BombKalorimeter suatu
alat yang digunakan untuk menentukan nilai kalor
pada bahan bakar padat dan cair.
Pengukuran BombKalorimeterdilakukan pada kondisi volume konstan tanpa aliran
dengan kata lain reaksi pembakaran dilakukan tanpa menggunakan nyala api,
melainkan menggunakan gas oksigen
sebagai pembakar dengan volume konstan atau bertekanan tinggi. ( Saifurrizal,
M. Ferdi. Dalam Adityo et al,.2016).
2.2.2. Komponen dan Fungsinya
- Termokopel
: Berfungsi untuk mengukur suhu pada saat awal dan pada saat setelah
terjadi pemboman pada kalorimeter bom.
- Agetator
( pengaduk) : berfungsi untuk mengaduk air disekitar bucket agar suhu air
yang ada di dalam bucket merata, guna menyeragamkan suhu disekeliling bom.
- Katup
Oksigen : berfungsi sebagai tempat masuknya oksigen didalam bom head yang
digunakan untuk proses pembakaran.
- Cawan :
berfungsi untuk meletakkan sampel yang akan dibakar di dalam bom head.
- Bom
Head : berfungsi sebagai tempat pembakaran.
- Katup
Listrik : befungsi sebagai tempat masuknya aliran listrik dalam bom head.
- Bucket
: berfungsi sebagai tempat meletakkan bom head dan di dalam bucket juga
diisi air yang berfungsi sebagai pendingin ketika terjadi pembakaran.
- Jacket
: befungi sebagai tempat masuknya aliran air dari water cooler sirkulator.
2.2.3. Mekanisme Kerja
Prinsip kerja dari
bomb kalorimeter adalah bahan
bakar yang akan diukur dimasukkan kedalam bejana kemudian diisi oksigen dengan
tekanan tinggi. Kemudian bomb
kalorimeter ditempatkan di dalam bejana yang berisi air dan bahan bakar
tersebut dinyalakan menggunakan sambungan listrik dari luar. Suhu yang diukur
sebagai fungsi waktu setelah penyalaan, pada saat suhu bomb kalorimeter tinggi keseragaman suhu air disekeliling bomb kalorimeter harus dijaga dengan suatu pengaduk. Selain
itu beberapa hal tertentu diberikan pemanasan dari luar melalui selubung air,
untuk menjaga supaya suhu seragam agar kondisi bejana air adiabatik, (
Saifurrizal, M. Ferdi. Dalam Adityo et al,.2016).
2.3. Prinsip
Penggunaan Retensi Energi Pada Ikan
Menurut Yuwono dan Purnama
(2001), sebagian besar energi yang dikonversi dari pakan yang dikonsumsi hilang
dalam bentuk panas dan hanya sekitar seperlima total energi dari pakan yang
diperoleh dalam bentuk pertumbuhan.Retensi energi adalah besarnya energi pakan
yang dikonsumsi ikan yang dapatdisimpan di dalam tubuh. Menurut Buttery dan
Landsay (1980) menyatakan bahwaretensi energi normal adalah 60-68%, sedangkan
dari hasil praktikum, presentasenya sebesar yaitu 54,4 %, Hal ini terjadi
dimungkinkan karena energi yang dihasilkan banyak dikeluarkan oleh tubuh untuk
metabolisme, aktifitas reproduksi, biosintesis dan hilang dalam bentuk panas.
Energi yang disimpan dimanfaatkan dalam sintesis komponen sel dan digunakan
sebagai bahan bakar dalam produksi energi sel (Villee and Barnes, 1988)
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Retensi Enegi dapat di simpukan bahwa :
1. Tingkat
retensi energi dapat dicerminkan dengan rasio pertambahan energi tubuh terhadap
jumlah energi pakan yang dikonsumsi oleh ikan uji
2. Prinsip kerja dari
bomb kalorimeter adalah bahan
bakar yang akan diukur dimasukkan kedalam bejana kemudian diisi oksigen dengan
tekanan tinggi. Kemudian bomb
kalorimeter ditempatkan di dalam bejana yang berisi air dan bahan bakar
tersebut dinyalakan menggunakan sambungan listrik dari luar.
3.2. Saran
Praktikum
Retensi energi yang dilakukan hanya melihat video tanpa praktek langsung,
sehingga dalam praktikum hasilnya kurang memuaskan dan tidak bisa dipahami
secara menyeluruh.
DAFTAR
PUSTAKA
Adityo,
dan Azamataufiq Budiprasojo,.2016. Nilai Kalor Campuran Premium Dengan Bahan Bakar
Polypropilene Hasil Proses Pirolisis.
Politeknik
Negeri Jember: Jember
Arief, M., Fitriani, N., Subekti. 2014. Pengaruh
Pemberian Probiotik Berbeda pada Pakan
Komersial terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias Sp.). Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan Vol. 6 No. 1
Buttery dan Landsay. 1980. Pritein Deposition
in Animals. Butterworth, London, M.I. 1979. Metode Biologi
Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor
Halver, J. A. 1989. Fish
Nutrition. Academic Press, New York
Jobsheet..2013. ‘’instrumen dan
teknik pengukuran’’. politeknik Negeri Sriwijaya.
Murtidjo, A. B.
2001. Pedoman Meramu Ikan. Kanisius, Yogyakarta.
Villee,C dan R.D. Barnes.1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta
Yuwono, E. dan Purnama S. 2001. Fisiologi Hewan Air. CV Sagung Seto,
Jakarta.
ACARA
III
PENENTUAN JUMLAH ERITROSIT
DAN LEUKOSIT
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Darah
merupakan salah satu cairan yang terdapat dalam pembuluh darah dan mengalir ke
seluruh tubuh. Tersusun dari cairan yang disebut plasma (60-70%), terdiri dari
air, protein, lemak, karbohidrat, dan sisanya sel-sel darah yang terdiri dari
eritrosit, leukosit dan trombosit (Sfafrida, 2011). Fungsi utama darah antara
lain: 1) Oksigenasi jaringan, 2) Gizi jaringan, 3) Pemeliharaan keseimbangan
asam basa, 4) Pembuangan produk limbah metabolisme dari jaringan (Ahmad, 2013).
Darah
ikan tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi dalam plasma dan mempunyai
peran fisiologi yang sangat penting. Penyimpangan fisiologis ikan akan
menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami perubahan. Perubahan
gambaran kimia darah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dapat menentukan
kondisi ikan atau status kesehatannya (Alifuddin, 2002).
Parameter
darah merupakan salah satu indikator adanya perubahan kondisi pada kesehatan
ikan, baik karena faktor infeksi akibat mikroorganisme atau karena faktor non
infeksi oleh lingkungan, nutrisi, dan genetik. Darah ikan tersusun dari sel-sel
darah yang tersuspensi dalam plasma dan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh
melalui sistem sirkulasi tertutup. Pada tubuh ikan, darah berfungsi untuk
mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh,
menyuplai oksigen ke sel-sel dan jaringan tubuh serta mengangkut hormon dan
enzim ke organ yang membutuhkan (Indriastuti, 2006 dalam Oktaviani, 2009).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Penentuan Jumlah eritrosit dan Leukosit adalah:
1. Mengetahui
cara pengambilan darah hewan
2. Mengetahui
kadar hemoglobin berbagai hewan
3. Mengetahui
perbedaan bentuk dan jumlah sel darah pada berbagai hewan
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum acara Penentuan Jumlah eritrosit dan Leukosit adalah Haemositometer, pipet
toma untuk perhitungan eritrosit, pipet toma untuk perhitungan leukosit,alat
suntik, kamera, dan mikroskop.
2.1.2. Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum acara
Penentuan Jumlah eritrosit dan Leukosit adalah darah ikan, larutan
hayem,dan larutan turk.
2.2. Metode
Perhitungan sel darah merah yaitu sampel darah diambil menggunakan dari bagian line lateralis ikan 2-3 cm dari
operkulum ikan kemudian diletakkan di dalam tabung eppendorf yang sebelumnya
telah dimasukkan anti koagulan. Dari tabung eppendorf dengan menggunakan alat
hisap eritrosit berupa kapiler dengan batu kecil didalamnya berwarna merah
hingga garis menunjukkan 0,5 ml. Selanjutnya ditambah dengan larutan hayem
hingga larutan mencapai 101 ml. Setelah itu larutan dihomogenkan dengan cara
menggoyangkannya dengan bentuk angka delapan. Darah dibuang dua tetes untuk
membuang gelembung udara, lalu diteteskan pada kamar hitung yang ditutup dengan
cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10
dengan 5 lapang pandang di kotak kecil pada kamar hitung hemacytometer dan
dilakukan dengan perhitungan dengan rumus.
Perhitungan
sel darah putih yaitu sampel darah diambil dari tabung eppendorf dengan
menggunakan alat hisap leukosit berupa kapiler dengan batu kecil didalamnya
berwarna merah hingga garis menunjukkan 0,5 ml. Selanjutnya ditambah dengan
larutan turk hingga larutan mencapai 101 ml. Setelah itu larutan dihomogenkan
dengan cara menggoyanggkannya dengan bentuk angka delapan. Darah dibuang dua
tetes untuk membuang gelembung udara, lalu diteteskan pada kamar hitung yang
ditutup dengan cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x 40 dengan 4 lapang pandang di kotak besar pada kamar hitung
hemacytometer dan dilakukan dengan perhitungan dengan rumus.
2.3. Waktu dan Tempat
Praktikum
acara penentuan
jumlah eritrosit dan leukosit dilaksanakan
pada tanggal 28 Mei 2017 di Laboratorium Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 2. Hasil perhitungan jumlah eritrosit dan leukosit ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
Ikan
|
Eritosit
(sel/ mm3)
|
Leukosit
(sel/ mm3)
|
U1
|
U2
|
Rerata
|
U1
|
U2
|
Rerata
|
Nilem 1
|
31,5 x 104
|
94,5 x 104
|
63 x 104
|
29,75 x 102
|
204
x 102
|
116,875 x 102
|
Nilem 2
|
172,5
x 104
|
283
x 104
|
227 x 104
|
31
x 102
|
43,75
x 102
|
37,375 x 102
|
Nilem 3
|
102x
104
|
35,5
x 104
|
68,75 x 104
|
47 x 102
|
15,25
x 102
|
31,125 x 102
|
Nilem 4
|
24,5
x 104
|
120
x 104
|
72,25 x 104
|
130,75x
102
|
26
x 102
|
78 x 102
|
Keterangan :
U = Ulangan Ke-
3.2. Pembahasan
Darah ikan tersusun dari sel-sel darah yang tersuspensi
dalam plasma dan mempunyai peran fisiologi yang sangat penting. Penyimpangan
fisiologis ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami
perubahan. Perubahan gambaran kimia darah baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dapat menentukan kondisi ikan atau status kesehatannya (Alifuddin, 2002).
Sel-sel darah putih tidak sama seperti sel darah merah. Jumlahnya paling
sedikit 150.000 sel/ mm3 pada sebagian besar ikan. Sel darah putih terbagi
menjadi empat jenis, yaitu granulosit, trombosit, limfosit dan
monosit (Alifuddin, 2002). Sel darah merah ikan berinti berfungsi
untuk mengikat oksigen. Eritrosit bewarna merah merah kekuningan, bentuknya
lonjong, kecil dan ukurannya sekitar 7 – 36 μm. Jumlah eritrosit tiap
mm3 darah ikan sekitar 20.000 – 3.000.000 butir, tergantung jenis dan
ukuran ikan. Sel darah putih pada ikan tidak bewarna. Jumlah sel darah putih
tiap mm3 darah ikan sekitar 20.000 – 150.000 butir. Bentuk sel darah putih
ini lonjong sampai bulat, Larger et
al. (1977) dalam Lies
(2007).
Perhitungan sel darah merah yaitu sampel darah diambil
menggunakan dari bagian line lateralis
ikan 2-3 cm dari operkulum ikan kemudian diletakkan di dalam tabung eppendorf
yang sebelumnya telah dimasukkan anti koagulan. Dari tabung eppendorf dengan
menggunakan alat hisap eritrosit berupa kapiler dengan batu kecil didalamnya
berwarna merah hingga garis menunjukkan 0,5 ml. Selanjutnya ditambah dengan
larutan hayem hingga larutan mencapai 101 ml. Setelah itu larutan dihomogenkan
dengan cara menggoyangkannya dengan bentuk angka delapan. Darah dibuang dua
tetes untuk membuang gelembung udara, lalu diteteskan pada kamar hitung yang
ditutup dengan cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x 10 dengan 5 lapang pandang di kotak kecil pada kamar hitung
hemacytometer dan dilakukan dengan perhitungan dengan rumus :
Jumlah
eritrosit = n x 104 sel/mm3
Keterangan :
N= jumlah sel eritrosit yang ada pada 5 kotak kecil
kamar hitung
104= faktor pengenceran
Perhitungan
sel darah putih yaitu sampel darah diambil dari tabung eppendorf dengan
menggunakan alat hisap leukosit berupa kapiler dengan batu kecil didalamnya
berwarna merah hingga garis menunjukkan 0,5 ml. Selanjutnya ditambah dengan
larutan turk hingga larutan mencapai 101 ml. Setelah itu larutan dihomogenkan
dengan cara menggoyanggkannya dengan bentuk angka delapan. Darah dibuang dua
tetes untuk membuang gelembung udara, lalu diteteskan pada kamar hitung yang
ditutup dengan cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 10 x 40 dengan 4 lapang pandang di kotak besar pada kamar hitung
hemacytometer dan dilakukan dengan perhitungan dengan rumus :
Jumlah
leukosit = n x 500 sel/mm3
Keterangan :
N= jumlah sel leukosit yang ada pada 4 kotak kecil
kamar hitung
500= faktor pengenceran
Hasil praktikum acara
penentuan jumlah eritrosit dan leukosit dapat dilihat pada gambar dibawah
ini:
Gambar 2. Grafik
jumlah eritrosit dan leukosit pada ikan Nilem (Osteochilus
hasselti)
Berdasarkan praktikum
diperoleh rerata jumlah eritrosit ikan nilem 1 63 x 104
sel/mm3,
eritrosit ikan nilem 2 227
x 104
sel/mm3, eritrosit ikan nilem 3 35,5 x 104 sel/mm3,
eritrosit ikan nilem 4 72,25
x 104
sel/mm3. Dari hasil jumlah rerata eritrosit tersebut, ikan
nilem sesuai dengan kisaran normal eritrosit ikan pada umumnya, karena pada
umumnya eritrosit ikan berkisar antara 20.000-3.000.000 sel/mm³. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan (Sjafei et al. (1989) dalam
Marthen (2005) dalam Hartika et al.
(2014), bahwa kisaran normal jumlah eritrosit ikan pada umumnya yaitu
20.000-3.000.000 sel/mm³.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah eritrosit pada individu dari satu spesies menurut Soetrisno
(1987) adalah: umur, jenis kelamin (invidu jantan lebih banyak daripada
betina), exercise emosi mengakibatkan jumlah eritrosit meningkat, status
makanan makanan yang baik maka jumlah eritrosit banyak, pregnancy (kehamilan)
dan menstruasi menyebabkan jumlah eritrosit menurun dan berpeluang terjadi
anemia, ketinggian tempat/ iklim (tempat yang tinggi maka kadar oksigen rendah,
sehingga perlu kadar eritrosit yang tinggi).
Sedangkan
rerata jumlah leukosit ikan nilem 1 116,875 x 102 sel/mm3, ikan nilem 2 37,375 x 102 sel/mm3,
ikan nilem 3 31,125 x 102
sel/mm3, ikan nilem 4 78
x 102
sel/mm3. Dari hasil jumlah rerata leukosit tersebut, ikan
nilem 3 dan 4 tidak sesuai dengan kisaran normal leukosit ikan pada umumnya,
karena pada umumnya leukosit ikan berkisar anatara 20.000- 150.000 sel/mm3.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan (Rastogi 1977 dalam Sasongko, 2001 dalam Hartika et al. 2014) bahwa kisaran normal jumlah sel darah putih pada ikan normal
umumnya berkisar 20.000-150.000 sel/mm³.
Jumlah leukosit
dipengaruhi oleh stress, kurang makan,kondisi tubuh. Keadaan tubuh sakit, maka
jumlah leukosit semakin banyak untuk pertahanan tubuh. Jumlah leukosit lebih
sedikit dibandingkan dengan erotrosit dan lebih banyak berfungsi dalam keadaan
sakit, karena itu sel darah putih berperan dalam menjaga tubuh dari serangan
organisme penyebab penyakit (Yuwono, 2001).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.3.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengambilan
darah ikan meenggunakan alat suntik yang diambil 2 cm kebelakang dari
operculum.
2. Rerata
jumlah eritrosit ikan nilem 1 63
x 104 sel/mm3,
eritrosit ikan nilem 2 227
x 104
sel/mm3, eritrosit ikan nilem 3 35,5 x 104 sel/mm3,
eritrosit ikan nilem 4 72,25
x 104
sel/mm3. leukosit ikan nilem 1 116,875 x 102 sel/mm3,
ikan nilem 2 37,375 x 102
sel/mm3, ikan nilem 3 31,125
x 102
sel/mm3, ikan nilem 4 78
x 102
sel/mm3.
3. Leukosit
ikan berkisar anatara 20.000- 150.000 sel/mm3 dan eritrosit ikan berkisar antara 20.000-3.000.000
sel/mm³.
4.4. Saran
Pengambilan darah ikan sebaiknya langsung di taruh
pada tempat yang telah diberi dengan serbuk agar tidak mengental, dalam
penggunaan pipet toma juga lebih berhati-hati.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
N., M. Aziz Muslim., Maftuch. 2013. Ekstraksi Fitur Roundness untuk Menghitung
Jumlah Leukosit dalam Citra Sel Darah Ikan. Jurnal
EECCIS. 7(1): 35-40.
Alifuddin,
M. 2000. Peran Immunostimulan
(Lipoposakarida, Saccharomyces cerevisiae dan Levamisole) Pada
Gambaran Respon Imunitas Ikan Jambal Siam (Pangasius hypophthalmus). Kertas
karya. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. 48 hal (tidak diterbitkan).
Hartika, Riski., Mustahal., Achmad
Noerkhaerin Putra. 2013. Gambaran Darah Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)
Dengan Penambahan Dosis Prebiotik Yang Berbeda Dalam Pakan. Jurnal Perikanan dan Ilmu Kelautan.
4(4): 259-267.
Lies,
Irdawati. 2007. Eritrosit dan Leukosit Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) yang
Dipelihara Pada pH Berbeda yang Mengandung Alumunium Potasium Sulfat.
Safrida.
2011. Gambaran Diferensiasi Sel Darah
Putih Tikus (Ratitus norvegicus) Betina Pada Stravasi (The Description of
differential leukocyte count of female rat (Rattus norvegicus) in starvation.
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan: Unsyiah Banda Aceh.
Soetrisno.
1987. Diktat Fisiologi Ternak.
Fakultas Peternakan Unsoed: Purwokerto.
Yuwono,
E. 2001. Fisiologi Hewan 1. Fakultas
Biologi Unsoed: Purwokerto.
.
LAMPIRAN
ACARA
IV
PENGUKURAN KONSUMSI OKSIGEN
IKAN
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sistem pernafasan bertugas mengambil oksigen dari udara. Setelah sampai
pada paru-paru, oksigen dipindahkan ke darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Di
dalam pembuluh darah, oksigen ditukar dengan karbondioksida. Karbondioksida
sebagai hasil oksidasi respirasi sel dan dibawa ke paru-paru untuk dikeluarkan
dari tubuh (Ayiseti, 2008).
Menurut Fujaya (2004),
oksigen sebagai bahan pernafasan dibutuhkan oleh sel untuk berbagai
metabolisme. Oksigen yang terlarut atau tersedia bagi hewan air jauh lebi
sedikit daripada hewan darat yang hidup dalam lingkungan dengan 21% oksigen.
Metabolisme hewan poikiloterm dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan. Saat
suhu rendah metabolisme turun dan akan meningkat ketika suhu lingkungan
meningkat. Laju metabolisme berbanding terbalik dengan konsenrasi oksigen
terlarut dan berkorelasi dengan konsumsi oksigen dan sintesa hemoglobin darah.
Saat konsentrasi oksigen rendah dan temperatur meningkat maka laju metabolisme
meningkat sedangkan bila konsentrasi oksigen tinggi dan temperatur rendah maka
laju metabolisme juga rendah (Sabandiah, 1998) .
Ikan dapat hidup di dalam air dan mengkonsumsi oksigen karena ikan
mempunyai insang. Insang memberikan permukaan luas yang dibasahi oleh air.
Oksigen yang terlarut di dalam air akan berdifusi ke dalam sel-sel insang ke
jaringan ke sebelah dalam dari badan (Kimball, 1988).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Pengukuran Konsumsi Oksigen Ikan adalah :
1. mahasiswa
dapat mengukur konsumsi oksigen baik dengan cara titrasi(metode winkler) ataupun
dengan alat DO meter, untuk mengukur respon metabolik hewan air terhadap
perubahan lingkungan atau stres.
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum acara Pengukuran Konsumsi Oksigen Ikan adalah aerator, timbangan
teknikal,gelas ukur besar, alat pengukur, botol winkler, tabung elenmeyer, buret, statif.
2.1.2. Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum acara Pengukuran Konsumsi Oksigen Ikan adalah ikan nila ( Oreochromis
niloticus ), larutan KOH-KI, larutan H2SO4 pekat,
larutan Na2S2O3, dan reagent amylum.
2.2. Metode
Praktikum dilakukan dengan mengisi penuh air yang
ada dan menyiapkan botol winkler. Setelah 7 menit ambil air dan masukan ke
dalam botol winkler. Setelah itu tutup dengan plastik dan tutup dengan botol
winkler. Masukan larutan KOH-KI, larutan H2SO4
pekat, larutan Na2S2O3 dengan menggunakan suntikan. Lalu masukan ke gelas ukur dan beker glass
masukan reagent amylum sampai larutan berwarna bening.
2.3. Waktu
dan Tempat
Praktikum
acara pengukuran
konsumsi oksigen ikan dilaksanakan
pada tanggal 27 Mei 2017 di Laboratorium Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 3. Hasil pengukuran konsumsi oksigen pada ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
Perlakuan
(menit)
|
Konsumsi O2
(mg/g/jam)
|
Rerata
(mg/g/jam)
|
Ulangan 1
|
Ulangan 2
|
10
|
2,53
|
3,69
|
3,11
|
20
|
1,965
|
1,73
|
1,8475
|
30
|
0,784
|
4,236
|
2,51
|
40
|
0,8432
|
3,657
|
2,2501
|
3.2. Pembahasan
Kelangsungan hidup ikan
sangat ditentukan oleh kemampuannya memperoleh oksigen yang cukup dari
lingkungannya. Berkurangnya oksigen terlarut dala perairan, tentu saja akan
mempengaruhi fisiologi respirasi ikan, dan hanya ikan yang memiliki sistem
respirasi yang sesuai yang dapat bertahan hidup (Fujaya, 2004). Menurut Ville et al. (1988), konsumsi oksigen dapat
digunakan untuk menilai laju metabolisme ikan sebab sebagian besar energi
berasal dari metabolisme aerobik.
Pada
praktikum acara pengukuran
konsumsi oksigen pada ikan hal yang
dilakukan pertama-tama alat pengukur konsumsi oksigen difungsikan terlebih
dahulu selama 15 menit. Kemudian ikan diukur terlebih dahulu panjang, bobot dan
volumenya lalu dimasukkan ke dalam tabung II kemudian tabung ditutup lagi dengan
rapat. Ikan dibiarkan dulu beradaptasi selama kurang lebih 30 menit. Kemudian
dengan botol sampel, sampel air diambil sebanyak 125 ml dari tabung II.
Kemudian sampel air dititrasi dengan metode Winkler untuk menentukan kadar
oksigen terlarut pada awal percobaan. Hal ini diulangi pada waktu 10, 20, 30
dan 40 menit. Zonneveld (1991)
menyatakan bahwa penentukan kadar oksigen terlarut dengan suhu
standar dapat dilakukan dengan metode winkler. Metode winkler menggunakan
sampel air yang dimasukkan dalam erlenmeyer ditambah KOH + KI + MnSO4,
masing-masing 21 tetes sampai larutan berwarna cokelat. KOH dan MnSO4 berfungsi
untuk mengikat O2 sehingga terjadi endapan. Kemudian campuran
larutan itu dikocok supaya homogen dan didiamkan sehingga muncul endapan. Endapan
tersebut ditunggu sampai turun ke dasar erlenmeyer, setelah itu ditambahkan
lagi H2SO4 sebanyak 21 tetes untuk menghilangkan endapan.
Campuran tersebut dikocok sampai endapan menghilang (menjadi jernih) baru
ditambahkan amilum sebanyak 11 tetes sehingga warnanya berubah menjadi biru.
Amilum berfungsi sebagai indikator O2. Campuran yang berwarna biru tua tersebut
dititrasi dengan Na2S2O3, sampai tidak
berwarna (jernih). Banyaknya Na2S2O3 pada
titrasi sampai campuran berwarna jernih dihitung, itulah yang akan digunakan
untuk menghitung besarnya KO2.
Hasil praktikum acara pengukuran konsumsi oksigen pada ikan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 3. Grafik konsumsi oksigen pada ikan
Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)
Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan rerata
banyaknya oksigen yang digunakan pada ikan nila yang diujikan dengan selang
waktu 10 menit yaitu sebesar 3,11
mg/g/jam, selang waktu 20 menit 1,8475
mg/g/jam, selang waktu 30 menit sebesar 2,51 mg/g/jam dan selang waktu 40 menit
sebesar 2,2501
mg/g/jam. Konsumsi oksigen pada tiap
organisme berbda-beda tergantung pada aktivitas, jenis kelamin, ukuran tubuh,
temperature dan hormone. Semakin besar bobot ikan maka semakin banyak pula
konsumsi oksigennya begitupun sebaliknya. Semakin banyak konsumsi oksigen,
semakin besar laju metabolismenya (Gordon, 1972 dalam Sahetapy, 2013).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Kesimpulan praktikum acara Pengukuran Konsumsi Oksigen Ikan adalah
1. pengukuran konsumsi oksigen hanya
menggunakan metode tritasi dan rerata banyaknya oksigen yang
digunakan pada ikan nila yang diujikan dengan selang waktu 10 menit yaitu
sebesar 3,11
mg/g/jam, selang waktu 20 menit 1,8475
mg/g/jam, selang waktu 30 menit sebesar 2,51 mg/g/jam dan selang waktu 40 menit
sebesar 2,2501
mg/g/jam.
4.2. Saran
Pemberian larutan H2SO4 sebaiknya dilakukan secara
hati-hati agar tidak terkena kulit dan pemberian amilum dilakukan sampai
berwarna jernih dengan melihat kertas dilaminating.
DAFTAR
PUSTAKA
Fujaya,
Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar
Pengembangan Teknik Perikanan. Rinek Cipta: Jakarta.
Kimball, J. W. 1988. Biologi Jilid II. Diterjemahkan oleh Siti Soetarmi Tjitrosomo dan
Nawangsari Sugiri. Erlangga: Jakarta.
Sabandiah,
E. 1998. Pengaruh Temperatur Lingkungan
terhadap Kehidupan dan Konsumsi Oksigen Ikan Mas (Cyprinus carpio). Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Biologi
Unsoed: Purwokerto.
Sahetapy
Jacqueline M.F. 2013. Pengaruh Perbedaan Volume Air Terhadap Tingkat Konsumsi
Oksigen Ikan Nila (Oreochromis Sp.). Jurnal Triton. 9(2) : 127 – 130.
Ville,
C.A, Walker, W.F and Barnes, R.D. 1988.
Zoologi Umum. Erlangga: Jakarta.
Yuwono,
E and Purnomo, S. 2001. Fisiologi Hewan
Air. CV Sagung Seto: Jakarta.
Zonneveld,N.E.A
Huisman, J.H Boon.1991. Prinsip-Prinsip
Budidaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
ACARA
V
OSMOREGULASI
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Osmoregulasi
adalah suatu upaya organisme air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion
antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmose.
Hal ini perlu dilakukan karena harus terjadi keseimbangan antara substansi
tubuh dan lingkungan dan membran sel yang permeabel merupakan tempat lewatnya
beberapa substansi yang bergerak cepat serta adanya perbedaan antara tekanan
osmose antara cairan tubuh dengan lingkungan. Organisme yang hidup pada air
tawar melakukan osmoregulasi (Fujaya, 2004).
Konsentrasi
osmotik dalam tubuh pada organisme yang hidup di laut sama dengan air laut
sekitarnya disebut osmoconformer. Sedangkan osmoregulator merupakan konsentrasi
garam dalam cairan tubuhnya ketika organisme ini dipindahkan ke dalam air payau
yang salinitasnya lebih rendah. Nilai ambang toleransi larutan seluler akhirnya
menentukan besarnya toleransi salinitas lingkungan hewan ini (Hariyadi, 2005).
Semakin
jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak
energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan suatu osmoregulasi sebagai
upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi (Fujaya, 2004). Menurut
Campbell et. al., (2003) suatu energetik osmoregulasi terutama bergantung pada
seberapa besar perbedaan osmolaritas seekor hewan dari osmolaritas
lingkungannya dan seberapa besar kerja transpor pada membran diperlukan untuk
mengangkut zat-zat terlarut itu secara aktif. Osmoregulasi bertanggung jawab
sekitar hampir 50% laju metabolisme dalam keadaan istirahat pada banyak hewan
laut dan ikan bertulang air tawar.
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Osmoregulasi adalah:
1. Untuk
mengetahui pengaruh salinitas yang berbeda terhadap ikan air tawar.
2. Untuk mengetahui
perubahan tingkah laku ikan-ikan tersebut sebagai bentuk adaptasi terhadap
perubahan salinitas.
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum acara Osmoregulasi adalah
stopwatch, hand counter dan refraktometer.
2.1.2. Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum acara Osmoregulasi adalah
ikan nila (Oreocromis niloticus), air
tawar 0 ppt, air payau 15 ppt, air laut 30 ppt, dan tisu.
2.2. Metode
Praktikum dilaksanakan dengan menyiapkan akuarium
tiga buah dengan masing-masing akuarium diisi dengan air
tawar 0 ppt, air payau 15 ppt, air laut 30 ppt, masukan ikan nila (Oreocromis
niloticus)bergantian di akuarium yang berbeda-beda. Hitung banyaknya operculum
membuka dan cata hasilnya.
2.3. Waktu
dan Tempat
Praktikum
acara osmoregulasi
dilaksanakan pada tanggal
28 Mei 2017 di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 4. Hasil pengamatan osmoregulasi pada ikan nila (Oreochromis niloticus)
Ikan/
Salinitas
|
Jumlah Buka Tutup Operkulum
(kali)
|
0 ppt
|
15 ppt
|
30 ppt
|
Nila
|
1530
|
1322
|
1296
|
Nilem
|
2440
|
1802
|
1023
|
3.2. Pembahasan
Osmoregulasi
merupakan upaya yang dilakukan organisme dalam mengatur tekanan internal dalam
tubuh untuk menyesuaikan diri dengan tekanan eksternal di lingkungan perairan.
Cairan internal pada vertebrata air tawar mencapai 10 ppt, hal ini bisa
mengakibatkan cairan internal di dalam tubuh keluar dengan cara difusi melalui
sel permeabel atau alat eksresi, seperti insang, kulit dan ginjal. Selain itu,
ikan air tawar bisa mengalami pemasukan air yang berlebihan (Sugiri, 1999).
Wahyurini (2005) menyatakan bahwa ikan
nila merupakan salah satu ikan yang bersifat euryhaline, yaitu ikan yang
memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas dengan rentang yang
cukup luas. Ikan nila dapat hidup pada salinitas hingga 35 ppt yaitu pada air
tawar, payau dan air laut.
Praktikum dilaksanakan dengan menyiapkan akuarium tiga buah dengan
masing-masing akuarium diisi dengan air tawar 0 ppt, air
payau 15 ppt, air laut 30 ppt, masukan ikan nila (Oreocromis niloticus) bergantian di akuarium yang berbeda-beda.
Hitung banyaknya operculum membuka dan cata hasilnya.
Hasil praktikum acara osmoregulasi
dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 4. Grafik jumlah buka tutup operkulum pada ikan nila (Oreochromis niloticus)
dan ikan nilem (Osteochillus
hasselti)
Berdasarkan praktikum hasil yang diperoleh pada ikan
nilem yang diletakkan di air bersalinitas 0 ppt mempunyai rerata jumlah buka
tutup operkulum 2440, 15 ppt 1802 dan air bersalinitas 30 ppt 1023. Sedangkan
pada ikan nila yang diletakkan di air bersalintas 0 ppt mempunyai jumlah buka
tutup perkulum 1530, 15 ppt 1322, dan 30 ppt 1296. Wahyurini
(2005) menyatakan bahwa ikan nila merupakan salah satu ikan yang bersifat
euryhaline, yaitu ikan yang memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan
salinitas dengan rentang yang cukup luas. Ikan nila dapat hidup pada salinitas
hingga 35 ppt yaitu pada air tawar, payau dan air laut.
IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Osmoregulasi dapat disimpulan
:
1. Pengaruh salinitas yang berbeda terhadap ikan air
tawar membuat ikan
nilem yang diletakkan di air bersalinitas 0 ppt mempunyai rerata jumlah buka
tutup operkulum 2440, 15 ppt 1802 dan air bersalinitas 30 ppt 1023. Sedangkan
pada ikan nila yang diletakkan di air bersalintas 0 ppt mempunyai jumlah buka
tutup perkulum 1530, 15 ppt 1322, dan 30 ppt 1296.
2.Perubahan tingkah laku ikan-ikan tersebut sebagai
bentuk adaptasi terhadap perubahan salinitas yaitu dengan mengurangnya
membuka-menutupnya operculum.
4.2. Saran
Perhitungan bukaan operculum sebaiknya dilihat
dengan baik agar menghasilkan hitungan yang sesuai.
DAFTAR
PUSTAKA
Campbell,
N.A., Jane, B.R. dan Lawrence G.M. 2003. Biologi Edisi Lima Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan “Dasar Pengembangan Teknik Perikanan”. Rineka Cipta, Jakarta.
Hariyadi, B. 2005. Fisiologi Hewan II. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sugiri,
N. 1988. Zoologi Umum. Erlangga:
Jakarta.
Susanto,
H. 2006. Ikan Hias Air Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wahyurini,
Endang Tri. 2005. Pengaruh Perbedaan Salinitas Air Terhadap Tingkat
Kelangsungan Hidup Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis
niloticus). Jurnal Perikanan dan
Kelautan. 1(1): 87-98.
Yulan
Adria, Ida A. Anrosana P. dan Ariesia A. Gemaputri. 2013. Tingkat Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis Niloticus) Pada Salinitas Yang Berbeda.
Jurnal Perikanan ( J. Fish. Sci.). XV (2) : 78-82.
ACARA
VI
EFEK HORMONAL DAN OVULASI
PEMIJAHAN IKAN
Oleh :
ALAN
ANGKO WIJOYO
L1C015025
LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN AKUATIK
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Hipofisasi
adalah suatu cara untuk merangsang ikan untuk memijah atau terjadinya
pengeluaran telur ikan dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofisa. Teknik
penyuntikan dengan pemijahan buatan atau induced breeding yaitu merangsang ikan
untuk kawin. Kelenjar hipofisa adalah kelenjar yang dapat mengendalikan beberapa hormon
antara lain hormon pada kelamin jantan (testis) maupun kelamin betina. Hipofisa
berukuran sangat kecil, terletak di sebelah bawah bagian depan otak besar
(diencephalon) sehingga jika otak kiri diangkat, maka kelenjar ini akan
tertinggal. Kelenjar hipofisa terdiri atas 4 bagian masing-masing berurutan
dari depan ke belakang adalah pars tubelaris, pars anterior, pars intermedius
dan neurophisis (Effendi, 1978).
Metode hipofisasi adalah usaha untuk
memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah secara alami tetapi
memiliki nilai jual tinggi dengan kelenjar hipofisasi dari ikan donor yang
menghasilkan hormon yang merangsang pemijahan seperti gonadotropin. Pemijahan sistem hipofisasi ialah merangsang pemijahan induk ikan dengan
menyuntikkan kelenjar hipofisa. Terdapat 3
cara penyuntikan hipofisasi yaitu intra muscular, intra cranial, dan intra
perineal
(Sumantadinata, 1981).
Manfaat
hipofisasi untuk merangsang ikan agar memijah atau terjadinya pengeluaran telur
ikan dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofisa. Metode hipofisasi
bermanfaat untuk memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah
secara alami tetapi memiliki nilai jual tinggi. Hipofisasi dengan kelenjar
hipofisasa dari ikan donor yang menghasilkan hormon yang merangsang pemijahan
seperti gonadotropin (Ville et al., 1988).
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara Efek Hormonal dan Ovulasi Pemijahan Ikan adalah 1. Mahasiswa
dapat melakukan pemijahan dan penyuntikan hormon pada ikan.
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum acara Efek Hormonal dan Ovulasi Pemijahan Ikan adalah suntikan,bulu
ayam,akuarium,aerator,selang, batu aerasi, mikroskop, kamera dan alat tulis.
2.1.2. Bahan
Bahan yang
digunakan dalam praktikum acara Efek Hormonal dan Ovulasi Pemijahan Ikan adalah
ikan Nilem (Osteochilus hasselti),
Ovaprim,dan Akuades
2.2. Metode
Praktikum yang dilakukan yaitu pertama siapkan
akuarium yang diisi air setengah akuarium dan diberi aerasi. Ambil
ikan Nilem (Osteochilus hasselti),
lalu suntik dengan ovaprim dan larutan akuades dengan 10 ml, tunggu satu jam.
Lalu distriping ikannya. Campurkan telur dan sel sperma lalu dihomogenkan
dengan bulu ayam. Masukan kedalam akuarium yang telah disiapkan tadi.amati
telur setelah 1 jam dengan mikroskop. Amati telur dan larva setelah 24 jam.
Catat hasil yang didapatkan.
2.3. Waktu dan Tempat
Praktikum
acara Efek Hormonal dan Ovulasi Pemijahan Ikan
dilaksanakan pada tanggal
6 Juni 2017 di
Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 5. Hasil perhitungan hatcing
rate pada ikan
Nilem (Osteochilus hasselti)
Nama Ikan
|
Jumlah Telur Yang Ditetaskan
(butir)
|
Jumlah Telur Menetas
(butir)
|
Hatcing Rate
(%)
|
Ikan Nilem
|
935
|
495
|
52,95
|
3.2. Pembahasan
Pemijahan
adalah salah satu fase dari reproduksi, pada proses pemijahan induk betina
bertelur 12 jam setelah proses penyuntikan. Telur-telur yang dikeluarkan lalu
dibuahi. Setelah itu, telur-telur tersebut dimasukan pada akuarium penetasan
(Susanto, 2006).Hormon reproduksi ikan yang berperan
menurut Susanto (1992) adalah gonadotropin yaitu Leuteinizing Hormone (LH) dan
Folicle Stimulating Hormone (FSH). Hormon gonadotropin tersebut dihasilkan oleh
kelenjar adenohipofisa yang akan merangsang proses pemasakan ovulasi yang pada
akhirnya merangsang induk betina untuk memijah. Ovaprim adalah campuran analog
salmon GnRH dan Anti dopamine dinyatakan bahwa setiap 1 mL ovaprim mengandung
20 mg sGnRH-a (D-Arg6-Trp7, Lcu8,Prog-NET) – LHRH dan 10 mg Anti dopamine.
Ovaprim juga berperan dalam memacu terjadinya
ovulasi. Peranan-peranan hormon LHRH adalah untuk kematangan gonad
ikan (Simanjuntak, 1985).
Berdasarkan pengamatan 1 jam setelah ovulasi stadia larva
ikan nilem berada pada tahap perkembangan pembelahan IV (32 sel), akan tetapi
setelah 12 jam kemudian telur ikan nilem menetas setelah pembuahan. Menurut
Blaxter (1969) selain disebabkan oleh kelembutan khorion oleh enzim, penetasan
juga dapat disebabkan oleh gerakan-gerakan akibat peningkatan suhu, intensitas
cahaya atau penyerapan tekanan oksigen. Penetasan dapat terjadi karena dua hal
yaitu 1) kerja mekanik yaitu embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan
rung dalam cangkangnya atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungan
cangkangnya, 2) kerja enzimatik yaitu enzim dan unsur kimia lainnya yang
dikeluarkan oleh kelenjar endodermal didaerah pharink embrio.
Hasil praktikum acara Efek
Hormonal dan Ovulasi Pemijahan Ikan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 5. Grafik hatcing
rate pada ikan
Nilem (Osteochilus hasselti)
Berdasarkan grafik di
atas dapat diketahui hatcing rate pada ikan Nilem (Osteochilus hasselti) Jumlah Telur Yang Ditetaskan 935 butir, Jumlah Telur Menetas
495
butir
Hatcing Rate
52,95 %. Faktor internal
yang mempengaruhi pemijahan ikan adalah faktor fisiologis dan psikologis ikan
seperti ikan belum matang kelamin atau ikan dalam keadaan stress. Faktor
eksternal yang mempengaruhi pemijahan ikan seperti cahaya, temperatur, dan arus
atau aliran air. Susanto (1992), menambahkan bahwa suhu air merupakan salah
satu faktor fisik yang dapat mempengaruhi nafsu makan dan pertumbuhan ikan
serta proses metabolisme lainnya. Kisaran suhu dalam bak pemijahan yang tidak
sesuai dengan batas toleransi ikan akan dapat menggagalkan proses pemijahan. Faktor lain yang sangat berpengaruh yaitu cara
pengambilan dan penyuntikan ikan. Pengambilan ikan harus hati-hati untuk
keberhasilan hipofisasi. Luka atau hilangnya sisik dapat mengakibatkan ikan resipien
tidak dapat memijah walaupun telah diberikan suntikan ekstrak hipofisa, karena
gangguan secara fisiologis pada ikan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu :
1. Pemijahan
buatan dengan penambahan hormon untuk merangsang pemijahan induk ikan. Jumlah Telur Yang Ditetaskan
935
butir,
Jumlah Telur Menetas
495
butir
Hatcing Rate
52,95 %.
5.2. Saran
Penyuntikan ovaprim sebaiknya dilakukan secara hati-hati agar sesuai
dengan prosedur dan striping ikan dilakukan dengan pelan-pelan agar isi perut
ikan ikut keluar.
DAFTAR
PUSTAKA
Blaxter,
H.S. 1969. Development of Eggs and
Larvae. Fish Physiology. Vol III: Reproduction, Bioluminescene, Pigments and
Poisons. Academic Press: New York.
Effendi, M. I. 1978. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Bogor.
Masrizal
dan Efrizal. 1997. Pengaruh Rasio Pengenceran sperma Terhadap Fertilitas Sperma
dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cyprinus
carpio). Fish J. Garing. 6 (1): 1 – 9.
Simanjuntak,
R. H. 1985. Pembudidayaan Ikan Lele.
Bathara Jaya Aksara: Jakarta.
Sumantadinata, K. 1981. Pengembangan Ikan-Ikan Pemeliharaan di Indonesia.
Sastra Hudaya,
Bogor.
Susanto, H. 1995. Budidaya
Ikan. Kanisius: Jakarta.
Ville, C.A. Warren, F. W. Jr. Robert. 1988. Zoologi Umum.
Erlangga, Jakarta.
LAMPIRAN